Nama: Sebrina S dan Lengga Marta Sari
NPM : E1I013025
Mata Kuliah: Sistem Informasi Geografis
KAJIAN PERUBAHAN LUASAN PADANG LAMUN DENGAN PENGINDERAAN JAUH DI PULAU LEPAR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
1. PENDAHULUAN
Lamun yang
disebutkan sebagai salah satu pengikat karbon ini mulai
diperhatikan.
Kehilangan
luasan
lamun sebesar lapangan bola setiap tiga
puluh
menit merupakan laporan kehilangan
yang
tidak
membanggakan (Waycott et al., 2009). Lamun dapat tumbuh
dan berkembang
di
pesisir pulau Lepar,
Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Berbeda dengan
kebanyakan
daerah, persoalan
di
propinsi ini adalah
terdapatnya penambangan
timah yang
menimbulkan sedimentasi. Sedimentasi tersebut
bukan hanya dari daratan,
tetapi
dari lautan juga memberikan
andil
dalam memperkeruh perairan pantai
Pertambangan rakyat yang semula
hanya di
daratan, merambah ke perairan (sungai, muara, laut dan danau bekas
tambang timah/kolong), yang kemudian dinamakan TI Apung (Zulkarnain,2005). Pemantauan perkembangan
menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh
(remote
sensing).
Metode konvensional (metode
survei in-situ) untuk pemetaan padang lamun, secara spasial tidak akan lebih
efektif dibandingkan dengan teknologi penginderaan jarak jauh
(Lacap, dkk. 2002).
Dalam jurnal
ini pendahuluan tidak membahas tentang peran dan fungsi dari lamun, adapun
peran dan fungsi lamun yang kami dapatkan dari jurnal pembanding adalah lamun berperan
penting di ekosistem laut
dangkal, karena
merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya.
Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun
sebagai daerah mencari makan (feeding ground),
pengasuhan larva
(nursery ground),
tempat memijah (spawning ground), sebagai
stabilitas
dan penahan sedimen,
mengurangi dan
memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat
terjadinya siklus nutrien (Philllips dan Menez, 1988),
dan
fungsinya
sebagai penyerap karbon di lautan
(Kawaroe, 2009).
Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalahsebagai berikut
:
1. Melihat adanya perubahan luasan
padang lamun di pulau
Lepar beserta status padang lamun, sehingga
didapatkan ketersediaan
pemetaan perairan
dangkal di
pulau
Lepar.
Kekurangan dari tujuan jurnal ini adalah tidak meneliti komposisi jenis, kerapatan,
persen
penutupan.
2. BAHAN DAN METODE
Pada bahan dan metode tidak terdapat sub bab tentang waktu dan tempat
penelitian serta rincian alat dan bahan yang digunakan, pada waktu dan tempat
seharusnya memasukkan peta lokasi penelitian agar pembaca mengatahui letak
bagian belahan bumi mana yang dijadikan lokasi penelitian serta tidak adanya
waktu berapa lama penelitian ini dilakukan.
Metode Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif
untuk menggambarkan sifat atau obyek
yang
diteliti. Akan tetapi jurnal ini tidak melakukan
pengukuran parameter perairan yang dimana kita ketahui bahwa parameter perairan
merupakan faktor utama keberlangungan suatu ekosistem.
Penentuan perubahan padang
lamun dilakukan
dengan pengolahan
citra digital Landsat 7 ETM+
(Path/Row:123/62; Acquisition Date: 9-8-2011 dan 10-8-1999) dengan
metode klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised clasification). Metode ini akan menghasilkan pengklasifikasian jenis daerah
pengamatan. Berdasarkan ground check, pengklasifikasian dari metode
unsupervised clasification akan diklasifikasikan ulang
(reclasification)
sesuai dengan kenyataan dilapangan.
Reclasification menggunakan data groundcheck (Tabel 1).
Tabel
1.
Titik ground check dan Pengamatan
Lamun di Perairan Dangkal Sekitar Pulau
Lepar
Stasiun
|
Lokasi
|
Kordinat
|
|
(degrees, minutes, seconds)
|
|||
Latitude
|
Longitude
|
||
1
|
Tj. Mujuk
|
1
3°1'56,1" S
|
106°49'5,8" E
|
2
|
Penutuk
|
2°59'53,29" S
|
106°45'35,13" E
|
3
|
Selat Lepar
|
2°58'37,4"
S
|
106°43'31,30"E
|
4
|
Tj. Gibang
|
4
2°57'0,6" S
|
106°42'44,2" E
|
5
|
Tj. Kodok
|
5 2°55'24,5" S
|
107°43'51,3" E
|
6
|
P. Burung
|
6 2°54'15.40" S
|
106°43'19.90" E
|
7
|
Bayan
|
2°54'51.60"S
|
106°45'35.82"E
|
8
|
Tj. Sangkar
|
8 2°52'54,4" S
|
106°48'11,3" E
|
9
|
Kp. Nelayan
|
2°55'1,8"
S
|
106°51'30,5"
E
|
10
|
Tj. Labu
|
10
2°56'26,4" S
|
106°54'24,67" E
|
11
|
Tj. Marun
|
3°
1'25.50" S
|
106°53'10.01" E
|
Penelitian terdiri dari beberapa tahapan
yaitu citra digital (berisi tahapan pra pengolahan citra digital dan pengolahan citra digital); data lapangan (berisi tahapan pengukuran kondisi padang lamun/ groundcheck); analisis data (berisi tahapan analisis
kondisi
dan perubahan luasan lamun). Pra
pengolahan citra digital terdir dari beberapa tahapan, yaitu impor data, komposit band RGB 421, koreksi geometrik dan koreksi
radiometrik. Pemilihan tahun pada impor data,
berdasarkan pertimbangan;
1)
Landsat 7
ETM+ tahun 1999 diharapkan memberikan
gambaran penutupan luasan lamun pada
pelaksanaan
penambangan timah, sesuai dengan PP No. 27 Th. 1980 dan
KepMen
Perindustrian dan
Perdagangan
No. 146
Th.
1999, serta sebelum pemberlakuan Peraturan Daerah (SK Bupati
Bangka) No. 6 Th.
2001 yang memperkenankan rakyat ikut
melakukan penambangan
timah;
2)
Landsat 7
ETM+ tahun 2011,
hasil pencitraan menggambarkan
luasan padang lamun terbaru di pulau Lepar. Menurut
Zulkarnain et al. (2005), 2
tahun
setelah
Perda
No.6
Th.2001 mulai
marak TI Apung;
3) Secara
umum, pemilihan citra satelit dilakukan dengan pertimbangan penutupan awan pada
daerah penelitian (dibanding dengan waktu yang lain), kondisi tanpa awan adalah
citra satelit yang paling ideal untuk pemetaan vegetasi laut dangkal (dalam
penelitian adalah pemetaan lamun). Laju
perubahan penutupan lamun dapat diketahui dari pengolahan data citra Landsat 7
ETM+. Kecenderungan perubahan lamun yang terjadi pada tiap tahun pengamatan
digunakan formula (Nazir, 1999).
Dimana:
∆L : laju perubahan
luas (%)
Lt1 : luas area pada tahun pengamatan
pertama (ha)
Lt2 : luas area
di tahun pengamatan berikutnya
(ha)
Modifikasi pada peraturan ini, pengambilan data dan analisis,
menggunakan hasil sampling dengan quadrat transect ukuran 1m (dibagi
menjadi empat kolom) serta berjarak interval 5m untuk padang lamun
majemuk/heterogen.
Pada analisis data tidak memiliki diagram alir penelitian sehingga
prosedur penelitiannya tidak berurutan dari langkah awal sampai akhir
penelitian, seperti pada jurnal pembanding yang memiliki analisa data cukup
jelas dan berurutan seperti pada diagram alir pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Pengolahan Citra
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Padang Lamun
Berkurangnya luasan padang lamun bagi sebagian peneliti, ditindak lanjuti dengan usaha pemulihan (restoration), pengembangan (enchancement), penambahan baru (creation),
dan pengawasan (Short, 2002; Texas
Parks & Wildlife,
1999; Hutomo ,2010; Montagna and Street, 1999).
Pengamatan perubahan
padang lamun pada skala
yang luas dapat dilakukan dengan cara
interpretasi citra
satelit. Hasil reklasifikasi citra satelit
di pulau Lepar, dari citra Landsat 7 ETM+
Tahun 1999 dan Tahun 2011, daerah padang
lamun mengalami perubahan. Peta penelitian
menunjukkan peningkatan
luasan padang lamun
dalam kurun waktu 12
tahun, dengan
laju perubahan 70,2% (bertambah 23.140,17 Ha). Berikut adalah peta perubahan luasan
padang lamun (Gambar 2).
Gambar 2. Peta
perubahan lamun di Pulau Lepar. Gambar [A] merupakan
hasil klasifikasi tahun 1999 dan gambar
[B] adalah hasil klasifikasi tahun 2011,
sedangkan gambar [C] menjelaskan
perubahan areal lamun tahun1999 hingga
tahun 2011.
Legenda warna =karang; = padang
lamun; = laut;
= padang
lamun th.1999; = padang lamun th.2011; = padang
lamun th. 1999 dan 2011 (tidak ada
perubahan lokasi); =
daratan/pulau; = pasir.
Peta yang dihasilkan mempunyai banyak kekurangan, yang pertama adalah
komposit warna pada saat pengolahannya tidak memilih komposit warna yang bagus
atau yang memiliki kejelasan warna sehingga mampu membedakan batasan antara daratan,
lautan, karang dan padang lamun. Dalam peta ini juga hanya memberikan informasi
tentang arah mata angin dan skala batang saja, tidak adanya grid, koordinat dan
bujur lintang dalam peta ini. Hasil dari peta ini juga tidak mempunyai
atirbut-atribut yang wajib ada dalam persyaratan pembuatan peta yang baik dan
benar, lambang-lambang dalam legenda seharusnya diberikan lambang atau simbol
yang berbeda-beda tidak boleh dengan simbol dan warna yang hampir sama sehingga
akan mempermudah pembaca dalam menemukan informasi yang ada di dalam peta
tersebut.
Ketiga peta diatas sangat sulit untuk melihat perubahan luasan padang
lamunnya dikarenakan peta yang dihasilkan tidak bagus dan tidak diketahui jelas
batasan antara setiap objek penelitian. Dari
jurnal pembanding mendapatkan hasil peta perubahan sebaran padang lamun yang
cukup jelas, dikarenakan peta yang dihasilkan sudah mempunyai komposit warna
yang bagus sehingga mudah melihat setiap obyek dalam peta dan peta ini juga
mampu memperlihatkan adanya perubahan luasan padang lamun dengan jelas. Berikut adalah peta
perubahan luasan padang lamun (Gambar 3).
Gambar 3.
Peta perubahan luas
lamun di Pulau Panjang
Peta diatas dapat kita
lihat adanya perubahan luasan lamun dari tahun 1990, 2000, 2005 dan 2010.
Keempat peta tersebut menunjukkan bahwa semakin lama luasan lamun semakin
berkurang, kehilangan lamun di
wilayah timur Pulau Panjang
diduga diakibatkan oleh
arus dan padatan tersuspensi masukan dari limbah rumah tangga. Wilayah timur
Pulau Panjang berhadapan langsung
dengan Laut Jawa sehingga rata-rata
kecepatan arusnya relatif
tinggi. akurasi lamun menggambarkan 60% dari kelas lamun hasil klasifikasi terkelaskan Hasil dari uji dengan benar
di lapangan. Relatif rendahnya
nilai akurasi yang didapatkan berhubungan dengan resolusi
spasial citra dan tipe GPS yang digunakan pada saat ground truth. Kedalaman perairan
pada saat perekaman data
citra
Landsat MSS (1990), Landsat
TM
(2000), dan
Landsat
+ETM (2005 dan 2010) yang
digunakan adalah 0,5 m – 0,9 m. Kisaran kedalaman tersebut tidak
terlalu
berpengaruh signifikan, hal ini
terlihat
dari relatif tinggi dan beragamnya nilai digital pada
citra sehingga masih dapat
dibedakan ke dalam beberapa kelas.
Peta pada jurnal
pembanding ini juga tidak sesuai dengan standar pembuatan peta, hal ini
dikarenakan dalam peta ini tidak memiliki atribut yang lengkap seperti tidak
adanya sumber peta, insert peta, arah mata angin dan pembuat peta sehingga
mengurangi informasi.
Faktor
internal
bagi pertumbuhan/persebaran
lamun adalah bagaimana lamun itu sendiri memiliki kemampuan untuk bereproduksi,
bagi jenis/spesies yang menyebarkan bibit dibawah
permukaan
sedimen (Halophila, Cymodocea,
and Halodule) sedangkan bibit
dan
buah yang berada di kolom perairan.
Faktor eksternal untuk persebaran lamun dapat berupa faktor biotik dan
abiotik. Arus dan
angin
adalah penyebab abiotik
terbawanya
benih lamun ketempat yang baru, Persebaran
lamun di daerah
penelitian
meluas ke daerah Utara
pulau Lepar dan dibagian Selatan pulau Lepar tergeser
pertumbuhannya kearah
barat. Arah arus
kedua
juga
menjelaskan pergeseran
areal lamun di Selatan pulau Lepar,
adanya arus yang mengalir dari Timur
ke
Barat, menggeser
areal padang
lamun yang ada (letak
padang lamun
lebih ke arah Barat, dari pada 12 tahun
sebelumnya).
Tabel
2.
Interpretasi citra satelit (Landsat 7 ETM) Pulau Lepar
Jenis
|
Luasan (Ha)
|
|
||
Th.
1999
|
Th.
2011
|
Perubahan
Luas
|
Laju Perubahan
%
|
|
Lamun
|
32.956,29
|
56.096,46
|
23.140,17
|
70,2a
|
Karang
|
49.831,56
|
19.025,46
|
-30.806,10
|
-61,8
|
Pasir
|
5.528,25
|
22.370,31
|
16.842,06
|
30,47a
|
Kondisi/
Status Padang Lamun di Pulau Lepar
Hasil pengamatan padang lamun yang berada di daerah pulau Lepar (lokasi
pengamatan pada Tabel 1) disajikan secara umum pada Tabel 3.
Tabel
3.
Hasil pengamatan padang lamun di
perairan dangkal
sekitar Pulau Lepar
Analisis
Data
|
Satsiun
|
Rata-rata
Standar Deviasi
|
||||||||||
Penutupan Lamun
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
|
Halodule uninervis
|
48,6
|
27,3
|
26,4
|
15,3
|
24,7
|
44,3
|
44,3
|
11,9
|
13,6
|
20,5
|
20,7
|
27,06 ±13,03
|
E. acoroides
|
3,1
|
6
|
0
|
0
|
8
|
0,3
|
0,9
|
8,8
|
0
|
0
|
0,6
|
2,52 ±3,45
|
C. serrulata
|
0
|
0
|
40,1
|
0,3
|
23,9
|
44,3
|
15,3
|
0
|
47,7
|
9,4
|
0
|
16,46 ±19,4
|
C. rotundata
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
15,6
|
1,42 ±4,71
|
T. hempriichi
|
34,9
|
42,6
|
0
|
68,2
|
17
|
0
|
0
|
27,6
|
0
|
0
|
10,2
|
18,23 ±22,77
|
S. isoetifolium
|
3,4
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
31,5
|
20,5
|
0
|
0
|
5,04 ±10,71
|
Halophila spinulosa
|
0,3
|
0
|
0,9
|
0
|
0,9
|
0
|
0
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0,38 ±0,65
|
Total Penutupan (%)
90,3
|
75,9
|
67,3
|
83,8
|
74,4
|
88,9
|
81
|
79,8
|
83,8
|
29,8
|
47,2
|
72,93 ±18,63
|
|
Status Padang Lamun*
B
|
B
|
B
|
B
|
B
|
B
|
B
|
B
|
B
|
R
|
S
|
B
|
4. KESIMPULAN
Penelitian
ini mendapatkan kesimpulan mengenai penambahan
luasan padang lamun yang berada di
perairan dangkal Pulau
Lepar.
Luasan padang
lamun dalam
kurun
waktu 12
tahun mengalami laju perubahan sebesar 70,2%
(bertambah 23.140,17
Ha). Kondisi lamun di
Pulau Lepar secara umum
masih
tergolong baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hutomo M, Bengen DG, Kuriandewa TE,
Taurusman AA,
Handayani EBS. 2010. Peran Ekosistem Lamun
dalam Produktivitas Hayati dan
Meregulasi
Perubahan Iklim.
Prosiding Lokakarya
Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun, 18
November 2009, Jakarta.
Kawaroe,
M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya
Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.
Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan No. 146/MPP/Kep/4/1999,
tentang Perubahan Lampiran Keputusan
Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor 558/MPP/Kep//1998
Tentang Ketentuan Umum
Dibidang Ekspor.
Lacap CDA, Vermaat JE, Rollon
RN, Nacorda HM. 2002.
Propagule dispersal of the SE Asian seagrasses Enhalus acoroides and Thalassia hemprichii.
Mar
Ecol Prog Ser. 235: 75–80
Montagna
PA, Li
J, Street GT. 1996.
Aconceptual
ecosystem
model of
the Corpus Christi
Bay National
Estuary Program study
area. Corpus Christi
Bay National
Estuary Program Report 8, January 1996.
Nazir
M.1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Nellemann C, Corcoran E,
Duarte CM, Valdés L, De Young C, Fonseca L, Grimsditch G. 2009. Blue Carbon:
A Rapid Response Assessment. Norway: United Nations.
Phillips,
R.C. and Menez, E. G. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contributions to the Marine Sciences, No. 34. Smithsonian Institution
Press, Washington, D. C.
Short FT, Davis
RC, Kopp BS,
Short CA,
Burdick DM. 2002. Site-selection model for optimal transplantation
of eelgrass Zostera marina in the
northeastern US. Marine
Ecology Progress Series. Vol. 227: 253–267
Surat Keputusan
Bupati Bangka
No.6
Tahun 2001, tentang Pengelolaan
Pertambangan Umum.
Texas Parks & Wildlife. 1999 . Seagrass Conservation Plan for
Texas. Texas:
Texas Parks & Wildlife
-
Resource Protection
Division Austin.
Waycott M, Duarte CM, Carruthers TJB,
Orth
RJ, Dennison WC, Calladine A,
Fourqurean JW, Heck
Jr KL,
Hughes
AR, Kenworthy WJ,
Short
FT,
William SL, Olyarnik S,
Kendrick GA. 2009.
Accelerating loss of seagrasses across the globe
threatens coastal
ecosystems. PNAS. 106(30): 12377–12381.
Zulkarnain I, Erman E, Pudjiastuti TN,Mulyaningsih
Y.
2005. Konflik di Kawasan Pertambangan Timah
Bangka Belitung;
Persoalan dan
Alternatif Solusi. Riset
Kompetitif Pengembangan IPTEK, Sub
Program Otonomi Daerah, Konflik
dan Daya Saing-LIPI.
Jakarta: LIPI Press.