Thursday, 9 June 2016

tugas review jurnal Sistem Informasi Geografis



Nama: Sebrina S dan Lengga Marta Sari
NPM : E1I013025
Mata Kuliah: Sistem Informasi Geografis


KAJIAN PERUBAHAN LUASAN PADANG LAMUN DENGAN PENGINDERAAN JAUH DI PULAU LEPAR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
1. PENDAHULUAN

Lamun yang disebutkan sebagai salah satu pengikat karbon ini mulai  diperhatikan.  Kehilangan  luasan lamun sebesar lapangan bola setiap tiga puluh menit merupakan laporan kehilangan  yang  tidak  membanggakan (Waycott et al., 2009). Lamun dapat tumbuh dan berkembang di pesisir pulau Lepar, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berbeda   dengan   kebanyakan   daerah, persoalan di propinsi ini adalah terdapatnya  penambangan  timah yang menimbulkan sedimentasi. Sedimentasi tersebut bukan hanya dari daratan, tetapi dari lautan juga memberikan andil dalam memperkeruh perairan pantai
Pertambangan rakyat yang semula hanya di daratan, merambah ke perairan (sungai, muara, laut dan danau bekas tambang timah/kolong), yang kemudian dinamakan TI Apung (Zulkarnain,2005). Pemantauan perkembangan  menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing). Metode konvensional (metode survei in-situ) untuk pemetaan padang lamun, secara spasial tidak akan lebih efektif dibandingkan dengan teknologi penginderaan jarak jauh (Lacap, dkk. 2002).
Dalam jurnal ini pendahuluan tidak membahas tentang peran dan fungsi dari lamun, adapun peran dan fungsi lamun yang kami dapatkan dari jurnal pembanding adalah lamun berperan penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya.  Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philllips dan Menez, 1988), dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (Kawaroe, 2009).


Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalahsebagai berikut :
1.    Melihat adanya perubahan luasan padang lamun di pulau Lepar beserta status padang lamun, sehingga didapatkan ketersediaan pemetaan perairan dangkal di pulau Lepar. Kekurangan dari tujuan jurnal ini adalah tidak meneliti komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan.


















2. BAHAN DAN METODE

Pada bahan dan metode tidak terdapat sub bab tentang waktu dan tempat penelitian serta rincian alat dan bahan yang digunakan, pada waktu dan tempat seharusnya memasukkan peta lokasi penelitian agar pembaca mengatahui letak bagian belahan bumi mana yang dijadikan lokasi penelitian serta tidak adanya waktu berapa lama penelitian ini dilakukan.
Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk menggambarkan sifat atau obyek yang diteliti. Akan tetapi jurnal ini tidak melakukan pengukuran parameter perairan yang dimana kita ketahui bahwa parameter perairan merupakan faktor utama keberlangungan suatu ekosistem.
Penentuan perubahan padang lamun   dilakukan   dengan   pengolahan citra digital Landsat 7 ETM+ (Path/Row:123/62; Acquisition Date: 9-8-2011 dan 10-8-1999) dengan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised clasification). Metode ini akan menghasilkan pengklasifikasian jenis daerah pengamatan. Berdasarkan ground check, pengklasifikasian dari metode  unsupervised clasification  akan diklasifikasikan   ulang   (reclasification) sesuai dengan kenyataan dilapangan. Reclasification menggunakan data groundcheck (Tabel 1).
Tabel 1. Titik ground check dan Pengamatan Lamun di Perairan  Dangkal Sekitar Pulau Lepar
Stasiun
Lokasi
Kordinat 
(degrees, minutes, seconds)
Latitude
Longitude
1
Tj. Mujuk
1 3°1'56,1" S
 106°49'5,8" E
2
Penutuk
 2°59'53,29" S
 106°45'35,13" E
3
Selat Lepar
2°58'37,4" S
106°43'31,30"E
4
Tj. Gibang
4 2°57'0,6" S
 106°42'44,2" E
5
Tj. Kodok
5  2°55'24,5" S
 107°43'51,3" E
6
P. Burung
6  2°54'15.40" S
 106°43'19.90" E
7
Bayan
2°54'51.60"S
106°45'35.82"E
8
Tj. Sangkar
8  2°52'54,4" S
 106°48'11,3" E
9
Kp. Nelayan
2°55'1,8" S
106°51'30,5" E
10
 Tj. Labu
10 2°56'26,4" S
 106°54'24,67" E
11
Tj. Marun
3° 1'25.50" S
 106°53'10.01" E


Penelitian terdiri dari beberapa  tahapan yaitu citra digital (berisi tahapan pra pengolahan citra digital dan pengolahan citra digital); data lapangan (berisi tahapan pengukuran kondisi padang lamun/ groundcheck); analisis data (berisi tahapan analisis
kondisi dan perubahan luasan lamun).  Pra pengolahan citra digital terdir dari beberapa tahapan, yaitu impor data, komposit band RGB 421, koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Pemilihan tahun pada impor data, berdasarkan pertimbangan;
1)    Landsat 7 ETM+ tahun 1999 diharapkan memberikan gambaran penutupan luasan lamun pada pelaksanaan penambangan timah, sesuai dengan PP No. 27 Th. 1980 dan KepMen Perindustrian dan Perdagangan No. 146 Th. 1999, serta sebelum      pemberlakuan Peraturan Daerah (SK  Bupati  Bangka)  No.  6 Th. 2001   yang   memperkenankan   rakyat ikut melakukan penambangan timah;
2)    Landsat 7  ETM+ tahun 2011, hasil pencitraan menggambarkan luasan padang lamun terbaru di pulau Lepar. Menurut Zulkarnain et al. (2005), 2 tahun setelah Perda No.6 Th.2001 mulai marak TI Apung;
3)    Secara umum, pemilihan citra satelit dilakukan dengan pertimbangan penutupan awan pada daerah penelitian (dibanding dengan waktu yang lain), kondisi tanpa awan adalah citra satelit yang paling ideal untuk pemetaan vegetasi laut dangkal (dalam penelitian adalah pemetaan lamun).  Laju perubahan penutupan lamun dapat diketahui dari pengolahan data citra Landsat 7 ETM+. Kecenderungan perubahan lamun yang terjadi pada tiap tahun pengamatan digunakan formula (Nazir, 1999). 

Dimana:
L  : laju perubahan luas (%)
Lt1 : luas area pada tahun pengamatan pertama (ha)
Lt2 :  luas  area  di  tahun  pengamatan berikutnya (ha)

Modifikasi pada peraturan ini, pengambilan data dan analisis, menggunakan hasil sampling dengan quadrat transect ukuran 1m (dibagi menjadi empat kolom) serta berjarak interval 5m untuk padang lamun majemuk/heterogen.
Pada analisis data tidak memiliki diagram alir penelitian sehingga prosedur penelitiannya tidak berurutan dari langkah awal sampai akhir penelitian, seperti pada jurnal pembanding yang memiliki analisa data cukup jelas dan berurutan seperti pada diagram alir pada Gambar 1.



Gambar 1.  Diagram Alir Pengolahan Citra
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Padang Lamun
Berkurangnya luasan padang lamun bagi sebagian peneliti, ditindak lanjuti dengan usaha pemulihan (restoration), pengembangan (enchancement), penambahan baru (creation), dan pengawasan (Short, 2002; Texas Parks & Wildlife, 1999; Hutomo ,2010; Montagna and Street, 1999).
Pengamatan perubahan padang lamun   pada   skala   yang   luas   dapat dilakukan dengan cara interpretasi citra satelit. Hasil reklasifikasi citra satelit di pulau Lepar, dari citra Landsat 7 ETM+ Tahun 1999 dan Tahun 2011, daerah padang lamun mengalami perubahan. Peta penelitian menunjukkan peningkatan luasan padang  lamun dalam kurun waktu 12 tahun, dengan laju perubahan 70,2% (bertambah 23.140,17 Ha). Berikut adalah peta perubahan luasan padang lamun (Gambar 2).


Gambar  2. Peta perubahan lamun di Pulau Lepar. Gambar [A] merupakan hasil klasifikasi tahun 1999 dan gambar [B] adalah hasil klasifikasi tahun 2011, sedangkan gambar [C] menjelaskan perubahan areal lamun tahun1999 hingga tahun 2011.

Legenda warna             =karang;                 = padang lamun;                 = laut;
 = padang lamun th.1999;   = padang  lamun th.2011;    = padang lamun th. 1999 dan 2011 (tidak ada
perubahan lokasi);                  = daratan/pulau;           = pasir.

Peta yang dihasilkan mempunyai banyak kekurangan, yang pertama adalah komposit warna pada saat pengolahannya tidak memilih komposit warna yang bagus atau yang memiliki kejelasan warna sehingga mampu membedakan batasan antara daratan, lautan, karang dan padang lamun. Dalam peta ini juga hanya memberikan informasi tentang arah mata angin dan skala batang saja, tidak adanya grid, koordinat dan bujur lintang dalam peta ini. Hasil dari peta ini juga tidak mempunyai atirbut-atribut yang wajib ada dalam persyaratan pembuatan peta yang baik dan benar, lambang-lambang dalam legenda seharusnya diberikan lambang atau simbol yang berbeda-beda tidak boleh dengan simbol dan warna yang hampir sama sehingga akan mempermudah pembaca dalam menemukan informasi yang ada di dalam peta tersebut.
Ketiga peta diatas sangat sulit untuk melihat perubahan luasan padang lamunnya dikarenakan peta yang dihasilkan tidak bagus dan tidak diketahui jelas batasan antara setiap objek penelitian.  Dari jurnal pembanding mendapatkan hasil peta perubahan sebaran padang lamun yang cukup jelas, dikarenakan peta yang dihasilkan sudah mempunyai komposit warna yang bagus sehingga mudah melihat setiap obyek dalam peta dan peta ini juga mampu memperlihatkan adanya perubahan luasan padang lamun dengan jelas. Berikut adalah peta perubahan luasan padang lamun (Gambar 3).


Gambar 3.  Peta perubahan luas lamun di Pulau Panjang

Peta diatas dapat kita lihat adanya perubahan luasan lamun dari tahun 1990, 2000, 2005 dan 2010. Keempat peta tersebut menunjukkan bahwa semakin lama luasan lamun semakin berkurang, kehilangan lamun di wilayah timur Pulau Panjang diduga diakibatkan oleh arus dan padatan tersuspensi masukan dari limbah rumah tangga. Wilayah timur Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa sehingga rata-rata kecepatan arusnya relatif tinggi. akurasi lamun menggambarkan 60%  dari kelas lamun hasil klasifikasi terkelaskan Hasil dari uji dengan benar di lapangan. Relatif rendahnya nilai akurasi yang didapatkan berhubungan dengan resolusi spasial citra dan tipe GPS yang digunakan pada saat ground truth. Kedalaman perairan pada saat perekaman data citra Landsat MSS (1990), Landsat TM (2000), dan Landsat +ETM (2005 dan 2010) yang digunakan adalah 0,5 m 0,9 m. Kisaran kedalaman tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan, hal ini terlihat dari relatif tinggi dan beragamnya nilai digital pada citra sehingga masih dapat dibedakan ke dalam beberapa kelas.
Peta pada jurnal pembanding ini juga tidak sesuai dengan standar pembuatan peta, hal ini dikarenakan dalam peta ini tidak memiliki atribut yang lengkap seperti tidak adanya sumber peta, insert peta, arah mata angin dan pembuat peta sehingga mengurangi informasi.
 Faktor internal bagi pertumbuhan/persebaran lamun adalah bagaimana lamun itu sendiri memiliki kemampuan untuk bereproduksi, bagi jenis/spesies  yang menyebarkan bibit dibawah permukaan sedimen   (Halophila, Cymodocea, and Halodule) sedangkan bibit dan buah yang berada di kolom perairan. Faktor eksternal untuk persebaran lamun dapat berupa faktor biotik   dan   abiotik. Arus dan angin adalah penyebab abiotik terbawanya benih lamun ketempat yang baru, Persebaran lamun di daerah penelitian meluas   ke daerah   Utara pulau Lepar dan dibagian Selatan pulau Lepar tergeser pertumbuhannya kearah barat. Arah  arus  kedua juga menjelaskan pergeseran areal lamun di Selatan pulau Lepar, adanya arus yang mengalir dari Timur ke Barat, menggeser  areal  padang  lamun  yang ada (letak padang lamun lebih ke arah Barat, dari pada 12 tahun sebelumnya).



Tabel 2. Interpretasi citra satelit (Landsat 7 ETM) Pulau Lepar
Jenis
Luasan (Ha)

Th. 1999
Th. 2011
Perubahan Luas
Laju Perubahan %
Lamun
32.956,29
56.096,46
23.140,17
70,2a
Karang
49.831,56
19.025,46
-30.806,10
-61,8
Pasir
5.528,25
22.370,31
16.842,06
30,47a



Kondisi/ Status Padang Lamun di Pulau Lepar

Hasil pengamatan padang lamun yang berada di daerah pulau Lepar (lokasi pengamatan pada Tabel 1) disajikan secara umum pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengamatan padang lamun di perairan dangkal sekitar Pulau Lepar
Analisis Data
Satsiun
Rata-rata Standar Deviasi
Penutupan Lamun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Halodule uninervis
48,6
27,3
26,4
15,3
24,7
44,3
44,3
11,9
13,6
20,5
20,7
27,06 ±13,03
E. acoroides
3,1
6
0
0
8
0,3
0,9
8,8
0
0
0,6
2,52 ±3,45
C. serrulata
0
0
40,1
0,3
23,9
44,3
15,3
0
47,7
9,4
0
16,46 ±19,4
C. rotundata
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15,6
1,42 ±4,71
T. hempriichi
34,9
42,6
0
68,2
17
0
0
27,6
0
0
10,2
18,23 ±22,77
S. isoetifolium
3,4
0
0
0
0
0
0
31,5
20,5
0
0
5,04 ±10,71
Halophila spinulosa
0,3
0
0,9
0
0,9
0
0
0
2
0
0
0,38 ±0,65
Total Penutupan (%)        90,3
75,9
67,3
83,8
74,4
88,9
81
79,8
83,8
29,8
47,2
 72,93 ±18,63
Status Padang Lamun*          B
B
B
B
B
B
B
B
B
R
S
B














4. KESIMPULAN

Penelitian ini mendapatkan kesimpulan mengenai penambahan luasan padang lamun yang berada di perairan  dangkal  Pulau  Lepar.  Luasan padang  lamun  dalam  kurun  waktu  12 tahun mengalami laju perubahan sebesar 70,2% (bertambah 23.140,17 Ha). Kondisi   lamun di Pulau Lepar secara umum masih tergolong baik.













































DAFTAR PUSTAKA


Hutomo M, Bengen DG, Kuriandewa TE, Taurusman  AA,  Handayani  EBS. 2010. Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. Prosiding Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun, 18 November 2009, Jakarta.
Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia. Keputusan  Menteri  Perindustrian  dan Perdagangan No. 146/MPP/Kep/4/1999, tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 558/MPP/Kep//1998 Tentang Ketentuan  Umum  Dibidang Ekspor.
Lacap CDA, Vermaat JE, Rollon RN, Nacorda HM. 2002. Propagule dispersal of the SE Asian seagrasses Enhalus acoroides and Thalassia   hemprichii.   Mar   Ecol Prog Ser. 235: 7580
Montagna  PA,  Li  J,  Street  GT.  1996.  Aconceptual   ecosystem   model   of the  Corpus  Christi  Bay  National Estuary Program study area. Corpus  Christi  Bay  National Estuary Program Report 8, January 1996.
Nazir    M.1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nellemann  C,  Corcoran  E, Duarte  CM, Valdés L, De Young C, Fonseca L, Grimsditch G. 2009. Blue Carbon: A Rapid Response Assessment. Norway: United Nations.
Phillips, R.C. and Menez, E. G. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contributions to the  Marine Sciences, No. 34. Smithsonian Institution Press, Washington, D. C.
Short FT, Davis RC, Kopp BS, Short CA, Burdick DM. 2002. Site-selection model for optimal transplantation of eelgrass Zostera marina in the northeastern US. Marine Ecology Progress Series. Vol. 227: 253–267
Surat  Keputusan  Bupati  Bangka  No.6 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Pertambangan Umum.
Texas Parks & Wildlife. 1999 . Seagrass Conservation  Plan  for  Texas. Texas:  Texas  Parks  &  Wildlife  - Resource      Protection      Division Austin.
Waycott M, Duarte CM, Carruthers TJB, Orth RJ, Dennison WC, Calladine A, Fourqurean  JW,  Heck  Jr  KL, Hughes AR, Kenworthy WJ, Short FT, William SL, Olyarnik S, Kendrick  GA.  2009.  Accelerating loss of seagrasses across the globe threatens coastal ecosystems. PNAS. 106(30): 1237712381.
Zulkarnain I, Erman E, Pudjiastuti TN,Mulyaningsih  Y.  2005.  Konflik  di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung; Persoalan dan Alternatif Solusi. Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK, Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing-LIPI. Jakarta: LIPI Press.